Sejarah Gereja Gedangan Semarang | Berawal dari Tahun 1808.
8 Mei 1807 Prefektur Apostolik Batavia berdiri. Tahun 1808 datang ke Indonesia 2 imam praja dari Belanda. Tanggal 27 Desember 1808, Gubernur General Deandels memutuskan dengan beslit bahwa Pastor Lambertus Prinsen Pr, menjadi pastor di Semarang. Esoknya, 28 Desember 1808, Pastor Prinsen tiba di Semarang. Sejak itu Semarang menjadi stasi. Sehubungan dengan itu, pada 29 Januari 1809 dibentuklah suatu “Kerkeraad” (sekarang PGPM). Karena belum mempunyai tempat sendiri, misa selalu diselenggarakan di gereja Protestan, yang sekarang dikenal dengan gereja Blenduk.
Baptisan pertama terjadi pada 9 Maret 1809. Selama tahun 1809 tercatat 14 orang yang dibaptis. Tahun-tahun berikutnya baptisan mengalami perkembangan: tahun 1810 sebanyak 31 orang, tahun 1811 dibaptis 17 orang. Bahkan pada tahun 1812 sebanyak 133 orang dibaptis di beberapa tempat, seperti di Semarang, Salatiga, Klaten, Yogyakarta. Tahun 1813 tercatat ada di Rembang, Jepara, Tegal, Pemalang. Tahun 1815 mulai ada warga katolik yang menyediakan rumahnya untuk misa. Tanggal 7 Agustus 1815 untuk pertama kalinya Misa dapat dilakukan di rumah sendiri. Sejak itu misa dirayakan di rumah warga tersebut. Tahun 1822 Pastor Prinsen membeli rumah besar. Rumah itu digunakan sebagai gereja dan tingkat atas digunakan untuk pastoran. Tepat 1 Agustus 1824 diselenggarakan pertama kali misa di “gereja” sendiri.
Semenjak kedatangan 2 imam tersebut, selama 50 tahun lebih lamanya imam-imam sekulir dari Belanda bekerja di seluruh Indonesia. Jumlah mereka tidak pernah lebih dari 10, seringnya 3 – 4. Melihat situasi tersebut, MGR. Vrancken mengundang imam-imam dari tarekat – tarekat. Ordo Jesuit menerima undangan misi tersebut dan tahun 1859 datanglah 2 pastor Jesuit. Mereka ditempatkan di Surabaya. Dalam usaha memiliki gereja sendiri, bulan Oktober 1859 Pastor J. Lijnen Pr, memulai pengumpulan dana. Melihat situasi tersebut, tahun 1860 pemerintah memberi Gereja Misi sebidang tanah.
Di tahun 2 Agustus 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang mulai dipisah. Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit Yohannes F van der Hagen, SJ yang ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta. Tahun 1865 stasi kedua dipisahkan dari Semarang. Berdirilah Gereja Yogyakarta dengan wilayah Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Banyumas. Tahun 1865 pastoor J. Lijnen Pr pergi ke negeri Belanda untuk mencari tenaga bantuan dan 2 tahun kemudian kembali ke Semarang bersama-sama suster Fransiskanes. Pada awalnya, suster – suster tersebut menangani panti asuhan Gedangan.
Tanggal 1 Oktober 1870, Pastor J. Lijnen melakukan peletakkan batu pertama guna mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di atas tanah pemberian pemerintah. Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei 1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-tiba roboh. Selanjutnya dilakukan perbaikan. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan gereja tersebut diberkati Pastor. J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang ditempatkan bertugas di Semarang untuk membantu pastor diosesan.
Tanggal 10 Juni 1882 Pastor Lijnen meninggal dunia dan digantikan oleh Pastor J. De Ories SJ. Maka sejak tahun 1882 stasi Semarang diserahkan pada paderi – paderi Jesuit. Pastor J. De Ories SJ kemudian ditunjuk sebagai Superior para Jesuit, dengan demikian pusat pimpinan para Jesuit pindah ke Semarang.
Tahun 1888 suster-suster Fransiskanes mendirikan sekolah SD St. Maria di Gedangan. Tahun 1894, 2 orang Protestan, Pak Johanes dan Pak Andreas Martaatmadja, menjadi Katolik. Karena mahir berbahasa Melayu dan Jawa, mereka menjadi guru bahasa antara paderi – paderi Belanda dengan bangsa Jawa. Tak lama kemudian kepala kampung dan beberapa guru Protestan menjadi Katolik.Di Ambarawa, Pati, Kudus, Purwodadi, dan sebagainya juga ada orang-orang yang masuk menjadi Katolik. Hingga tahun 1895 di Semarang dan sekitarnya sudah ada 235 orang Katolik. Di tahun 1896 datanglah Pastor F. Van Lith dan Pastor Petrus Hoevenaars ke Gedangan. Beberapa lama di Gedangan, Pastor Van Lith sibuk dengan belajar bahasa Jawa. Mulai 1899 mereka berkarya di Mendut dan Muntilan. Tanggal 22 Desember 1897 berdiri MC atau Konggregasi Maria.
Tahun 1900
Tanggal 14 Desember 1903 dipermandikanlah 171 orang pribumi Sendangsono dan Kalibawang oleh Pastor Van Lith. 21 Juni 1911 datang 4 bruder dari St. Louis untuk mengasuh anak yatim piatu yang laki – laki, mereka adalah bruder – bruder St. Aloysius. Tahun 1911 suster – suster Fransiskanes membuka sekolah baru di Bangkong. 15 Juni 1915 para bruder dan anak laki yatim piatu pindah ke Candi. Tahun 1918 Pastor Van Lith SJ mendirikan Yayasan Canisius di Muntilan, yang saat itu sudah mengelola 270 sekolah. 30 Oktober 1921 di Bangkong berdiri kapel kompleks susteran. Sejak itu kapel diresmikan dan dibuka sebagai gereja pembantu. Beberapa tahun kemudian bruder – bruder St. Aloysius mengelola/memelihara anak-anak laki yatim piatu di Candi lama.
Tahun 1925 Pastor Simon Beekman SJ tiba di Gedangan dan mulai berkarya di antara masyarakat Tionghoa. Tahun 1926 membeli tanah dan bangunan di Randusari. Tahun 1927 dibuka menjadi gereja dan pasturan, sedangkan peresmian sebagai gereja ditunda sampai tahun 1930 dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1927. Tahun 1928 stasi – stasi pembantu sebelah timur kota Pati dioper oleh Prefektur Surabaya. 4 tahun kemudian stasi – stasi sebelah barat Weleri diberikan pada Prefektur Purwokerto. Tahun 1928 gereja Bangkong dan stasi – stasi Kudus, Pati, Juwana diserahkan kepada para romo MSF. Tanggal 22 Maret 1931 diresmikan rumah retret di daerah Giri Sonta. Tahun 1937 didirikan pusat gereja di Kebon Dalem (baca : Sejarah Gereja Kebon Dalem). Tanggal 23 Januari 1938 datang 6 suster PI ke Semarang. Mulai saat itu, mereka berkarya di Kebon Dalem.
Memasuki Masa Vikariat Apostolik
Tanggal 1 Agustus 1940 MGR. Albertus Soegijapranata diangkat menjadi Uskup (Uskup Agung Pribumi Pertama di Indonesia) dan pada tanggal 9 Agustus 1940, Semarang menjadi Vikariat Apostolik, memisahkan diri dengan Batavia dan gereja Randusari diangkat sebagai gereja Katedral. Menimbang situasi yang ada, maka Vikariat Apostolik Semarang sejak 1940 masih menumpang di halaman gereja Gedangan. Tanggal 26 Juli 1942 di Gereja Bintaran ditahbiskan Romo – romo Diosesan Indonesia yang pertama.
Pada masa pendudukan Jepang, gereja Randusari dipelihara oleh seorang pamong Jiwa bangsa Jawa, sedangkan Gedangan dipelihara oleh Uskupnya yang berturut-turut tiap pagi mempersembahkan misa berganti-ganti di gereja Gedangan, Susteran Gedangan, gereja Kebon Dalem, gereja Atmodirono dan gereja Karangpanas. 1954 lahir Ikatan Buruh Pancasila di Gedangan dibawah bimbingan Pater Jan Dijkstra yang menjadi Romo paroki. Selanjutnya muncul juga Serikat Nelayan Pancasila dan Serikat Tani Pancasila.
Di tahun 1950-an mulai terjadi pemisahan dengan gereja Gedangan. Tahun 1952 Purwodadi menjadi Gereja yang terpisah, tahun 1954 daerah Weleri dengan gereja St. Martinus menjadi Gereja terpisah, tahun 1956 gereja Kebon Dalem menjadi Gereja yang terpisah dari Gedangan. dan 1963 Sukorejo dengan gereja St. Isidorus juga mulai terpisah dari Gedangan.
Tahun 1950 Pater Jan Van Waijenburg SJ mendirikan sekolah Loyola. Tanggal 20 September 1953 Kolese Loyola diresmikan. Tahun 1953 pula Bruder Haiken mendirikan Kebon Kayu, yang pada tahun 1970 berkembang menjadi PIKA. Pada tahun 1956 Jesuit Indonesia mendapat status Vice Propinsi. Tanggal 8 September 1971 menjadi propinsi penuh.
Setelah tempat memungkinkan, pada 20 Agustus 1961 Mgr. Soegijapranata pindah ke wisma keuskupan. Kemudian pada 3 Januari 1962 Vikariat Apostolik Semarang diputuskan menjadi Keuskupan Agung Semarang.
Thn 1955 Legio Maria mulai dikenal di Semarang berkat Rm Chang Peng Tu Pr. Tahun 1975 muncul kelompok Christian Life Community (CLC, atau KHK, Komunitas Hidup Kristiani) sebagai pembaharuan dari kelompok MC. Tahun 1978 mulai berkembang gerakan kharismatik di Gedangan. Tahun 1980 muncul Persekutuan Karismatik sebagai hasil pembaharuan yang lain dari MC. Mengingat perkembangan umat dan kota Semarang, tahun 1991 Rm Anton Mulder SJ memulai niat untuk membangun gereja di daerah bagian Timur gereja Gedangan. Tanggal 9 Mei 1991 dibentuklah PGPM St. Ignatius. Tahun 1998 PGPM membeli tanah di Banjardowo dengan maksud sebagai lokasi berdirinya gereja. Tanggal 3 Juli 2005 gereja St. Ignatius Banjardowo Semarang diberkati. Meski begitu gereja Banjardowo belum terpisah dan belum menjadi paroki tersendiri.
sumber : www.gedangan.com