Penulis : Tjahjono Rahardjo | Javaanse Schouwburg Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka
dimuat ulang dari : tjahjonorahardjo.blogspot.com
Artikel dalam buku “Kasih Akan Tanah Air: Upaya untuk Terus Menjadi”, sebuah buku yang ditulis oleh 13 civitas akademika Unika Soegijapranata yang berisi kajian nasionalisme dalam rangka Dies Natalis ke-29, 5 Agustus 2011.
Abstrak
Teater Sobokartti Semarang saat ini hanya dikenal oleh segelintir orang sebagai bangunan cagar budaya, selain sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan kesenian. Namun di balik itu, proses pembangunan gedung ini melalui masa-masa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa diberlakukannya Ethische Politiek atau Politik Etis, ketika benih-benih nasionalisme muncul di masyarakat bumiputera. Rancangan gedung ini ternyata tidak sekedar mempertimbangkan faktor-faktor arsitektur seperti estetika, penghawaan, pencahayaan dan akustik tapi juga masuk ke dalam diskursus tentang masa depan Indonesia. Rancangan gedung ini mewakili pandangan Ethische Richting yang beranggapan bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena mereka saling membutuhkan; juga pandangan bahwa ’Timur’ dan ’Barat’ harus saling mengisi dan melengkapi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik demi kemajuan bangsa Indonesia di masa depan. Pandangan Ethische Richting ini kemudian diadopsi pemerintah Belanda (dengan penyimpangan-penyimpangan) pada 1901 sebagai Ethische Politiek. Tulisan ini mencoba mengungkap peran para tokoh utama pendiri Kustvereeniging Sobokartti yaitu Mangkunagara VII dan Thomas Karsten tidak hanya dalam kaitan dengan pendirian kunstvereeniging dan javaanse schouwburg, tapi juga dalam konteks kecintaan mereka pada bangsa dan tanah air Indonesia.
Patriotism cannot be our final spiritual shelter; my refuge is humanity. I will not buy glass for the price of diamonds, and I will never allow patriotism to triumph over humanity as long as I live. (Rabindranath Tagore)
A. Pendahuluan
Pada akhir abad 19 di Belanda muncul aliran Ethische Richting. Aliran ini menginginkan Belanda meningkatkan kesejahteraan penduduk di koloni-koloninya, tidak sekedar mengeruk keuntungan.
Ethische Richting beranggapan bahwa bangsa Belanda dan bangsa bumiputera harus bersatu karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan. Seorang eksponen Ethische Richting di dunia akademis adalah Cornelis van Vollenhoven, guru besar hukum adat di Universitas Leiden (Kerdijk, 2002).
Masyarakat Belanda menjadi sadar akan sisi buruk kolonialisme di Hindia Belanda melalui tulisan anggota parlemen W.R. van Hoëvel ”Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet” tentang kelaparan di Jawa pada 1845. Lebih berpengaruh lagi adalah tulisan Eduard Douwes Dekker ”Max Havelaar” yang menceritakan dengan rinci penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera. Selain itu ada artikel “Een Eereschuld” oleh Conrad Theodore van Deventer.
Tidak kalah penting adalah peran Pieter Brooshooft yang pada 1877 menjadi redaktur utama Samarangsche Courant (kemudian menjadi harian De Locomotief). Brooshooft melalui tulisan-tulisannya membuka mata publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Istilah “ethische politiek” sendiri berasal dari Brooshooft yang pada 1901 menulis pamflet dalam harian De Locomotief “De ethische koers in de koloniale politiek“.
Pada tahun yang sama Ratu Wilhelmina menyatakan dalam pidato pada pembukaan parlemen (troonrede): ”….. te doordringen van het besef dat Nederland tegenover de bevolking dezer gewesten een zedelijke roeping heeft te vervullen...”[2] Dengan pidato itu periode Politik Etis secara resmi dimulai.
Namun pelaksanaan Ethische Politiek di Hindia Belanda banyak menyimpang dari gagasan Ethische Richting. Ethische Politiek, karena pengaruh berbagai kepentingan, bersifat paternalistis, rasis, eropa-sentris serta berangkat dari anggapan bahwa bangsa kulit putih mempunyai tanggungjawab moral (versi Belanda ’the white man’s burden’ dan la mission sacrée de civilisation) untuk menguasai bangsa-bangsa non-kulit putih (yang diasumsikan terbelakang dan belum beradab) demi memajukan bangsa-bangsa itu. Slogan Ethische Politiek yang terkenal adalah “irrigatie, onderwijs en emigratie.”[3]
Dengan demikian alih-alih menempatkan masyarakat bumiputera dalam posisi setara, Ethische Politiek justru membuat mereka sangat tergantung pada kebaikan hati penjajah. Seperti dikatakan Haji Agus Salim (Salim, 1954, dikutip dalam Lowensteyn, 2005):
….reforming concepts, magnificently constructed in the minds of the noble Dutchman, are at implementation deformed into a caricature of themselves under the influence of selfishness, as a result of the natural instinct of preservation of those groups, which in the mother-country, under changing political constellations, control the political relationships (between Holland and Indonesia) sometimes with more, sometimes with less benevolence, groups which in character have remained the same throughout times, from the monopolistic East-India Company, through forced cultivation, and free labour, till today.
Politik Etis pada dasarnya mempunyai dua tujuan (yang sebenarnya kontradiktif). Pertama, menyatukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah kekuasaan langsung pemerintah Belanda (ditandai dengan penaklukan Aceh dan Bali melalui operasi militer yang brutal). Kedua, mempersiapkan rakyat Hindia Belanda agar suatu saat bisa menyelenggarakan pemerintahan sendiri namun tetap di bawah kendali Belanda. Untuk tujuan kedua ini diperlukan orang-orang bumiputera berpendidikan Barat. Seperti dikatakan Menteri Urusan Jajahan D. Fock (Furnivall, 1944):
We have undertaken to rule the people through their own leaders, and that implies the training of subordinates in all branches of administration. This has never yet been attempted, but now we have come to recognize that they have great capability and energy and, with proper encouragement, are able to co-operate with us in administration to the benefit of land and people.
Meski tujuannya adalah mencetak administrator pemerintahan, kesempatan mendapatkan pendidikan Barat berbahasa Belanda bagi sekelompok kecil orang bumiputera menghasilkan sesuatu yang tidak diduga. Orang-orang bumiputera terdidik ini menjadi sadar akan posisi subordinat mereka dibanding warga kulit putih. Mereka juga terinspirasi perkembangan di luar Hindia Belanda, seperti gerakan nasionalis menentang Inggris di India, pemberontakan Boxer melawan kekuasaan asing di Cina dan, lebih-lebih lagi, kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 (Furnivall, 1944).
Benih nasionalisme muncul juga di bidang kebudayaan dan kesenian. Timbul kesadaran di kalangan terpelajar bahwa kebudayaan dan kesenian bumiputera tidak kalah dari kebudayaan dan kesenian Barat serta layak mendapatkan perhatian dan dipelajari secara serius. Sebaliknya, di kalangan orang-orang Belanda penganjur Ethische Richting juga tumbuh minat untuk lebih mengenal dan mempelajari kebudayaan dan kesenian Nusantara.
B. Volkskunstvereeniging[4] Sobokartti
Dalam suasana zaman seperti itu wajar ketika pemuda pelajar yang tergabung dalam Tri Kara Darma (setelah 1918 menjadi Jong Java) meminta kepada Sultan Hamengkubuwana VII dari Yogyakarta agar mereka boleh mempelajari kesenian kraton.
Hamengkubuwana VII menanggapi permintaan itu dengan meminta dua tokoh kesenian kraton Yogyakarta, Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma untuk menyelenggarakan pendidikan tari dan musik kraton kepada masyarakat luas melalui organisasi Kridha Beksa Wirama (KBW) yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Peristiwa itu menandai awal proses demokratisasi seni pertunjukkan kraton Jawa. Sultan sendiri memberikan dukungan finansial bagi kegiatan-kegiatan KBW.
Bekerjasama dengan Jong Java, KBW menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum; KBW menyediakan guru-guru tari, sedangkan Jong Java menyiapkan murid-murid sekolah lanjutan. Sejak itu seni pertunjukkan yang semula hanya berkembang di dalam kraton, seperti tari bedhaya, srimpi, wirèng dan wayang wong bisa dipelajari dan dinikmati masyarakat di luar kraton. Bahkan di Surakarta wayang wong mengalami komersialisasi dengan munculnya wayang wong panggung yang diusahakan pengusaha-pengusaha Cina[5] (Soedarsono, 1984; Bandem dan Murgiyanto, 1996).
Menyusul berdirinya KBW di Yogyakarta, di beberapa kota muncul pula organisasi-organisasi sejenis. Salah satunya adalah Volkskunstvereeniging Sobokartti di Semarang yang didirikan antara lain atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember 1920.
Pertemuan pembentukan Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester[6] Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A. Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar ”De Locomotief”. Dalam pertemuan itu ditetapkan nama Volkskunstvereeniging ”Sobokartti” (“tempat berkarya.”).
Dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1929 – 50 disebutkan tujuan pendirian Sobokartti sebagai berikut: “De vereeniging stelt zich ten doel de bevordering van de inheemsche kunst en de verbreiding der waardering voor deze kunst onder alle bevolkingsgroepen en in het bijzonder de Inlandsche bevolking.”[7] Kegiatan yang dilakukan antara lain pementasan, kursus, pameran, diskusi dan lain-lain.
Berdirinya Perkumpulan Sobokartti dengan ratusan anggota yang terdiri dari orang Jawa, Belanda dan Tionghoa[8] tidak lepas dari keadaan kota Semarang ketika itu. Semarang adalah kota pelabuhan yang progresif, dengan kehidupan intelektual yang dinamis dan tempat munculnya gagasan-gagasan dan pemikiran yang maju.
C. Pangeran dan Arsitek
Banyak orang dan pihak yang terlibat dalam pendirian kunstvereeniging Sobokartti. Namun ada dua nama yang sangat menonjol, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara VII dan Ingenieur Herman Thomas Karsten. Mereka terlibat langsung mulai pembentukan organisasi sampai pada desain gedung teater.[9]
Mangkunagara VII (1885-1944)
Pada 1916 Mangkunagara VII naik tahta sebagai penguasa Kadipatèn Mangkunegaran setelah pengunduran diri pamannya, Mangkunagara VI. Sebelumnya, ketika masih bernama Raden Mas Surya Suparta, ia tinggal di Belanda antara 1913 dan 1916 untuk belajar bahasa di Universitas Leiden. Ia harus hidup mandiri di Belanda karena kepergiannya tidak disetujui Mangkunagara VI. Ketika pecah Perang Dunia I Surya Suparta bergabung dengan Haagsche Grenadier (pasukan elit pengawal ratu) dengan pangkat letnan.
Sebagai Mangkunagara VII ia dan permaisurinya Ratu Timur pada Januari 1937 hadir pada pernikahan Putri Juliana[10] dengan Pangeran Bernhard dan sebagai hadiah pernikahan menyajikan tari Srimpi Pandelori yang dibawakan anak perempuan mereka, Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kusumawardhani. Melalui sajian tari kraton ini Mangkunagara VII mengekspresikan kebanggaannya pada kebudayaan Jawa sekaligus secara subtil menunjukkan kepada masyarakat Belanda bahwa kebudayaan Jawa tidak kalah dari kebudayaan Barat[11].
Temtamg masa muda Mangkunagara VII sebelum tinggal di Belanda, berikut petikan tulisan R.M. Soewardi Soerjaniningrat (Ki Hajar Dewantara) yang dimuat di “Hindia Poetera Tahun I: 1916-1917: [12]
Ia adalah memang seorang anak raja, tetapi yang telah meninggalkan kehidupan dalam lingkungan istana yang tanpa keteguhan hati dan penuh kemewahan itu. Ia lepaskan kehidupan yang tidak segar itu untuk menukarnya dengan lapangan pekerjaan yang lebih menyenangkan. Ia bekerja sebagai magang, yaitu pembantu jurutulis. Kemudian menjadi mantri kabupaten, dan oleh karena ia dalam pada itu selalu berusaha untuk menambah pengetahuannya dalam berbagai bidang dengan mengikuti kursus-kursus yang dibiayainya sendiri dengan uang tabungannya, maka pada akhirnya ia dipandang cukup cakap untuk menduduki jabatan penterjemah di Surakarta. Perlu diketahui, bahwa untuk jabatan itu diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Belanda dan Jawa[13].
Karena biasa bergaul dengan rakyat biasa Mangkunagara VII berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kadipatèn Mangkunagaran. Ia memajukan kesenian, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Ia menaruh perhatian khusus pada irigasi pertanian. Di bandingkan wilayah-wilayah kerajaan (vorstenlanden) yang lain, kehidupan masyarakat Mangkunegaran lebih makmur (Priyatmoko, 2009). Bagian kota Surakarta yang dikelola Mangkunegaran juga lebih tertata dibandingkan bagian yang berada di bawah wewenang Kasunanan (Pemberton, 1994).
Mangkunagara VII adalah pendiri organisasi kepanduan Indonesia yang pertama, Javaansche Paadvinders Organitatie pada 1916. Pada Juli 1918 atas inisiatifnya di Mangkunegaran diadakan pertemuan pertama serangkaian kongres untuk memajukan kebudayaan Jawa. Sekitar 375 utusan, sebagian diantara mereka orang Eropa, datang dari seluruh Jawa. Pada akhir kongres dibacakan mosi tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga tetap untuk memajukan studi dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Sekali lagi berkat usaha Mangkunagara VII pada Agustus 1917 berdirilah Java Instituut yang bertujuan ”memajukan perkembangan kebudayaan pribumi, dalam arti kata yang seluas-luasnya, di Jawa, Madura dan Bali.” (Larson, 1990)
Beberapa tulisan Mangkunagara VII sampai sekarang masih dipakai sebagai referensi, diantaranya karya monumentalnya ”Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen”[14] yang disampaikan pada pertemuan Cultuur-Wijsgeerigen Studiekring[15] Desember 1932 dan diterbitkan di jurnal ”Djawa”: 13 (1933). Selain itu ia menterjemahkan sejumlah tulisan-tulisan oleh dan tentang Rabindranath Tagore ke bahasa Jawa (Gupta, 2002).
Penobatan Mangkunagara VII disambut gembira para penganjur Ethische Politiek. Mereka melihatnya sebagai ’model’ penguasa bumiputera modern. Gubernur Surakarta (1929-1932) J.J. van Helsdingen, yang pernah diusir Mangkunagara VII dengan cara yang sangat non-Jawa karena hadir dalam suatu pertemuan tanpa diundang, mengatakan:
Di antara empat kepala swapraja[16] tak dapat diragukan lagi bahwa ialah yang paling modern dan paling aktif. Pada konferensi antara kedua Gubernur[17] dan keempat Swapraja ia yang paling banyak berbicara dan setiap kali mengemukakan pendapat yang menunjukkan pengertian yang baik dan menakjubkan, serta pikiran yang tajam… (Larson, 1990)
Tentang Mangkunagara VII musikolog Jaap Kunst bahkan mengatakan: ”In him was embodied all that is best in the Javanese national character” (Kunst, 1973).
Tapi di sisi lain, banyak pejabat kolonial dan juga Kasunanan Surakarta mencurigai ambisi politik Mangkunagara VII. Karena itu selama pemerintahannya ia juga banyak menghadapi intrik-intrik dari mereka (Larson 1990, Priyatmoko 2009).
Herman Thomas Karsten (1885-1945)
Thomas Karsten lahir di Amsterdam dari keluarga terpelajar yang mapan. Ayahnya pengajar filsafat dan rektor sebuah hoogeschool[18]. Dalam lingkungan keluarga inilah Karsten mulai mengenal gagasan-gagasan progresif. Pilihannya untuk belajar di Fakultas Bouwkunde[19] di Technische Hogeschool di Delft adalah salah satu bukti tentang kesadaran sosialnya itu. Fakultas yang baru didirikan itu menjadi tempat belajar orang-orang muda yang mempunyai keinginan memperbaiki kondisi sosial masyarakat (Cotè, 2004).
Setelah lulus Karsten bergabung dengan Sociaal Technische Vereeniging, kelompok profesional muda yang progresif. Pada 1904 ia terlibat dalam proyek pembangunan rumah rakyat di Amsterdam, Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam. Amsterdam ketika itu adalah satu-satunya kota industri di Belanda. Di kota itu terdapat kesenjangan sosial, ekonomi, dan etnis yang parah. Di kota ini pula berkumpul para tokoh-tokoh pemikir radikal Belanda. Diprakarsai walikota Amsterdam yang sosialis, proyek besar ini bertujuan menyediakan perumahan layak di kawasan Amsterdam Selatan. Di daerah kumuh ini tinggal buruh pendatang dan masyarakat Yahudi miskin. Proyek inilah yang membentuk pandangan-pandangan idealistis dan ideologis Karsten selanjutnya (Cotè, 2004).
Atas undangan Henri Maclaine-Pont, teman kuliahnya di Delft, Karsten datang ke Semarang pada 1914. Semarang di masa itu adalah kota yang unik. Dibandingkan kota-kota lain, para pejabat di Semarang mempunyai wawasan yang luas. Selain itu terdapat komunitas Tionghoa peranakan yang sangat kaya dan berpengaruh[20] serta kelas menengah pribumi berpendidikan Barat yang aktif. Di sisi lain terdapat masyarakat Indo dan Jawa kelas bawah yang miskin.
Gerakan sosialisme di Hindia Belanda pertama kali muncul di Kota Semarang. Seperti telah disinggung sebelumnya salah satu koran paling progresif dan berpengaruh di Hindia Belanda, De Locomotief, terbit di Semarang. Perencanaan dan pengelolaan kota Semarang (dan khususnya perumahan rakyat) ketika itu juga termasuk yang paling maju di Hindia Belanda (Furnivall, 1944).
Meski tidak lepas dari berbagai persoalan kota, kehidupan intelektual di Semarang ketika itu sangat bergairah. Semarang di awal abad 20 itu adalah tempat subur bagi munculnya gerakan-gerakan progresif dan radikal, seperti halnya Amsterdam yang baru ditinggalkan Karsten. Di Semarang Karsten menemukan tempat yang sesuai untuk merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang perumahan rakyat dan perencanaan kota (Cotè, 2004).
Melalui perencanaan kota Karsten berupaya untuk menyatukan masyarakat kolonial, untuk memberikan kesempatan pada semua penduduk tanpa melihat latarbelakang etnis mereka menikmati lingkungan sosial dan budaya yang sama, sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing. Menurutnya dalam masyarakat Indonesia modern bukan faktor etnis tapi faktor sosial-ekonomi yang menjadi penentu. Suatu lingkungan yang terencana akan memungkinkan penduduk hidup bersama membangun suatu masyarakat multi-kultural.
Setelah kariernya yang panjang sebagai penasehat berbagai kota di Indonesia, ide-ide Karsten mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial di Batavia. Pada 1930 ia diangkat menjadi anggota komisi reformasi perkotaan (Bouwbeperkingscommisie, yang pada 1934 berubah menjadi Stadsvormingscommissie). Tapi meski telah mendapatkan pengakuan pemerintah, usulan pengangkatan Karsten sebagai profesor di Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) ditolak. Karsten dianggap terlalu radikal dan kritis.
Ironisnya, di kalangan nasionalis radikal Karsten dianggap terlalu kooperatif terhadap pemerintah. Visi Karsten tentang ‘asosiasi’ dan ‘fusi’ sosial, budaya, dan politik tidak mempunyai tempat dalam Indonesia Merdeka yang diperjuangkan kaum nasionalis radikal. Sementara menurut Karsten kemerdekaan Indonesia tidak perlu dicapai dengan revolusi, tapi dengan emansipasi rakyat melalui pendidikan.
Karsten menikah dengan Soembinah, seorang perempuan pribumi, pada 1921. Soembinah adalah anak Mangoenredjo, lurah di Dieng, dan cucu Heinrich Wieland, mantan tentara Swiss yang menetap di Wonosobo dan menikah dengan seorang perempuan Jawa.
Di masa itu sudah jarang sekali laki-laki Belanda totok beristeri perempuan pribumi, meskipun sebelumnya banyak yang mempunyai gundik atau nyai pribumi. Tapi seorang nyai tidak pernah muncul di depan umum. Sebaliknya Soembinah belajar bahasa Belanda dan aktif dalam kegiatan-kegiatan di kalangan perempuan Eropa. Ia menemani Thomas Karsten dalam perjalannya ke Eropa pada 1930.
Besarnya peran Soembinah dalam kehidupannya diakui Karsten. Karsten dan Soembinah mempunyai empat orang anak, salah satunya Simon yang mengikuti jejak ayahnya menjadi arsitek. Menurut Simon, untuk memahami pemikiran dan gagasan-gagasan Thomas Karsten ada dua hal harus diperhatikan: kecintaannya pada Soembinah, dan kecintaannya pada tanah air keduanya, Indonesia[21].
Kecintaan Thomas Karsten pada Indonesia memang tidak perlu diragukan. Pada 21 April 1945, hanya sesaat sebelum ia meninggal, ia meminta bantuan dokternya yang juga sesama tahanan Jepang di kamp Cimahi untuk mencatatkan kata-kata terakhirnya di dalam buku hariannya : “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah.“
Bersambung : Javaanse Schouwburg Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka – (Bagian 2)