FOTOGRAFI PRODUK (product photography), apa yang anda pikirkan jika istilah ini mampir di pikiran Anda? Siapa juga yang dipanggil sebagai fotografer produk (product photographer)? Mari intip beberapa kegiatan di bawah ini, yang bisa jadi sering Anda lakukan.
Masuk ke sebuah resto dengan pelayan berjas dan dasi kupu-kupu, dan disodori buku menu dengan original leather hardcover? Datang ke sebuah restoran cepat saji terkenal, lalu pramusajinya mempersilakan memilih dari jajaran beberapa foto paket kuliner mereka? Atau barangkali Anda penggemar jasa pedagang makanan kaki lima, yang di atas mejanya ada selembar kertas berlaminasi berisikan daftar makanan?
Semua menawarkan hal yang sama, mempersilakan anda memilih yang ditawarkan di dalam daftar menu yang ada? Lalu, apa bedanya diantara ketiga macam penawaran itu?
Mengapa pemilik atau manajemen resto dengan pelayan berjas dan dasi kupu-kupu membuat daftar menu lux? Tentu terkait dengan segmentasi resto yang dipilihnya. Mereka tentu ingin konsumennya adalah, misal saja, eksekutif muda top dan sukses, yang mengadakan bussiness meeting di restonya.
Dapat dipastikan, buku menu dengan original leather hardcover itu tidak akan diisi dengan foto, misalnya, creme brulee yang diambil dengan pocket camera seadanya. Apalagi, hanya sekadar download dari situs internet.
Untuk mengejar kepuasan konsumen, resto itu tentu mempekerjakan chef dengan skill tinggi, resep masakan yang ekslusif, memakai bahan baku kelas satu, pelayanan terbaik, tempat ternyaman dan representatif. Semuanya tentu memerlukan pengorbanan tidak sedikit, gaji chef yang tinggi, bahan makanan yang tidak murah, interior ruangan khusus, lantas harus membayar pajak lebih.
Apakah Anda berpikir pemilik resto atau manajernya juga akan memakai penyedia jasa fotografi khusus? Hampir dapat dipastikan jawabannya ”ya”. Yang mereka perlukan dalam hal ini fotografer kuliner, fotografer makanan, food photograper –atau apalah sebutannya– yang mampu menerjemahkan keinginan pemilik resto, manajer, dan chef-nya dengan tepat. Yang mampu making a first good impression (kesan pertama yang baik) terkait “jualannya”.
Sebab, setelah interior menarik, suasana nyaman, pelayan yang melayani sampai duduk di table, ”jembatan” pertama produk makanan yang ditawarkan dengan calon konsumen adalah foto di buku menu. Di sini, ”product speaking” bisa diterjemahkan dengan bebas menjadi ”foto yang berbicara”.
Itu yang diperlukan, menjembatani penyampaian pesan dari penjualnya, dan pencarian kebutuhan calon konsumen. Foto yang memenuhi syarat ”product speaking” yang baik tidaklah mudah. Bukan hal gampang juga mencari fotografer yang bisa mencapai kualifikasi ini.
Yang mutlak diperlukan adalah food photographer yang bisa menerjemahkan keinginan pemilik resto, si manajer, dan chef yang dibayar mahal. Bukan bicara tarif fotografer, bukan semata menyebut nama besar penyedia jasa fotografi. Bukan juga melirik fotografer berkemampuan hanya layak untuk lembaran menu yang dilaminasi. Perlu orang yang paham bahwa usaha chef melakukan platting adalah sebuah karya seni yang patut diapresiasi.
Ditulis oleh : Leo Teja | omahkuphotography.com