Masa pendirian bangunan yang ada di lingkungan Gedung Lawang Sewu ternyata memiliki sistem struktur dan konstruksi yang berbeda. Masa bangunan utama yang berbentuk L dibangun tahun 1904 – 1907 berstruktur masif dengan konstruksi dinding pemikul yaitu dinding berfungsi sebagai penyalur beban dari atas (atap) menuju pondasi. Struktur dan kosntruksi demikian lazim digunakan pada masa tersebut, mengingat teknologi beton bertulang belum ditemukan.
Pondasinya menggunakan pondasi lajur batu kali berventilasi yang membentuk ruang dimana bidang lantai bangunan tidak menempel dengan tanah. Pemilihan jenis pondasi ini merupakan pilihan cerdas dari perencananya yaitu sebagai upaya untuk mengurangi kelembaban yang mungkin terjadi. Konstruksi pondasinya sendiri dibuat di atas lapisan pasir yang tebal, yang fungsinya untuk mengabsorbsi kemungkinan getaran akibat beban bangunan yang berat dan besar, serta memperbaiki stabilitas tanah yang terbebani bangunan.
Pondasi ruangnya sendiri dibuat saling berhubungan satu dengan lainnya melalui lubang ventilasi, yang jika ditilik dari ukurannya tidak dapat dimasuki manusia. Dengan lubang ventilasi pada pondasi, maka udara lembab dari tanah bisa dialirkan keluar melalui hembusan angin yang masuk ke dalam ruangan pondasi, sehingga lantai bangunan dibagian atas tetap kering dan tidak lembab.
Konstruksi pemikul lantainya terbuat dari batu bata dengan konstruksi lengkung rollag, dan besi profil P sebagai pengunci lengkung. Sistem konstruksi lengkung rollag lazim dipakai untuk konstruksi plat lantai pada bangunan gedung sebelum ditemukannya konstruksi beton bertulang.
Di atas lengkung tadi baru dibuat konstruksi lantai yang juga terdiri dari susunan batu bata berperekat dengan penutup lantai ubin warna. Pada pertemuan antara konstruksi pondasi dengan dinding diatasnya dipasang batu andesit yang fungsinya mirip dengan konstruksi slope beton bertulang. Batu-batu ini disusun dengan rapi, mengikuti alur dan besaran dinding, diberi bentuk dan lekukan yang menarik, namun tetap fungsional. Menilik jenis batuannya kemungkinan bahan bangunan ini khusus dirancang dan didatangkan dari Eropa untuk bangunan ini.
Karena harus memikul beban maka dinding bangunan direncanakan dengan menggunakan sistem struktur masif, dimana ketebalan dindingnya diatas normal dan dinding di bawah memiliki ketebalan yang lebih besar dibanding dinding diatasnya. Pada bangunan L, dinding lantai bawah (lantai 1) memiliki ketebalan = 56 cm, bagian atas (lantai 2) = 42 cm dan lantai atap (attic / lantai 3) = 28 cm. Pada dinding yang menahan gaga vertikal dari beban kuda-kuda diatasnya, diberi penebalan sehingga membentuk tonjolan yang menyerupai kolom (pilaster) yang terbuat dari bahan yang sama (batu bata).
Batu bata yang digunakan berukuran 12x26x6 cm, untuk bagian khusus seperti pertemuan sudut pilaster, konstruksi balustrade, ukuran dan bentuk bata yang digunakan berbeda. Di bagian ini, batu bata bagian luar dilapis dengan lapisan glassur berwarna, sehingga memberi kesan kontras terhadap bidang bangunan. Karena struktur yang digunakan adalah struktur masif, maka bentuk denah lantai satu sama persis dengan lantai kedua yang mendominasi bangunan ini bergaya Romanesque.
Konstruksi dasar lantai dua sama seperti konstruksi plat lantai satu, terbuat dari pasangan rollag batu bata yang diperkuat dengan besi profil. Di bagian ini konstruksi dibiarkan terbuka sehingga berfungsi sebagai ornamen plafon yang artistik. Bangunan yang menggunakan sistem konstruksi sejenis antara lain gedung kantor Borsumij Wehry Indonesia (1866) di jalan Kepodang dan Gedung Bank Mandiri di jalan Mpu Tantular (Nederiands Handel Matschapijj -1880).
sumber : indonesianheritagerailway.com