Masjid Besar Semarang yang terdapat di kawasan Pasar Johar, Semarang Tengah, di Jawa Tengah dikenal juga sebagai Masjid Kauman Semarang. Masyarakat Semarang sejak dulu memang mengenalnya sebagai Masjid Kauman, karena masjid ini semula berada di wilayah Kampung Kauman. Istilah Kauman sendiri berasal dari kata “kaum”, yakni keluarga abdi dalem yang mendapat tugas dari Adipati Pandanaran I (diangkat sebagai Adipati Semarang tahun 1575) untuk mengelola masjid tersebut.
Menurut inskripsi berbahasa dan berhuruf jawa yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk ke Masjid Besar Kauman Semarang, masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749M. lengkapnya inskripsi tersebut berbunyi seperti berikut :
“Pemut kala penjenengane Kanjeng Tuwan Nikolas Harting hedelir gopennar serta sarta Direktur hing tanah Jawi gennipun kangjeng Kyahi Dipati Suradimanggala hayasa sahega dadosse masjid puniki kala Hijrat 1170”
Dalam bahasa Indonesia :
“Tanda peringatan ketika kanjeng Tuan Nicoolass Hartingh, Gubernur serta Direktur tanah Jawa pada saat Kanjeng Kyai Adipati Suramanggala membangun hingga jadinya masjid ini pada tahun 1170 Hijrah”
Tuan Nicoolass Hartingh sendiri seperti yang disebutkan dalam inskripsi tersebut adalah tokoh utama penggerak lahirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah wilayah Kesultanan Mataram atau dikenal dengan Palihan Nagari menjadi wilayah Kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat berpusat di Yokyakarta dan Kasunanan Surakarta. Atas upayanya Nicoolas Hartingh kemudian dihadiahi rumah dinas oleh pemerintah penjajahan Belanda (VOC) di daerah tugu muda dengan nama De Vredestein atau Wisma Perdamaian.
Masjid Besar Kauman Semarang ini yang kini masih berdiri kokoh adalah bangunan yang didirkan oleh Adipati Suradimanggala (Kiai Terboyo) menggantikan masjid lama yang rusak parah akibat kebakaran selama geger pecinan di Semarang tahun 1741. Lokasi masjid lama ini berada di sebelah timur alun alun diseberang barat kali Semarang. Masjid tua ini pernah dipugar pada masa penjajahan, pada tahun 1889 sampai 1904 dikarenakan pernah terjadi kebakaran pada masjid tersebut. Pada waktu pemugaran Masjid Kauman ditangani seorang arsitek Belanda bernama Gakampiyan.
Bangunan Masjid Besar Semarang yang ada sekarang adalah bangunan yang keempat, yang merupakan lanjutan dari masjid keadipatian sebelumnya Pertama kali masjid dibangun di kawasan Mugas (Mugasari), tetapi karena penduduknya tidak berkembang masjid dipindahkan ke Bubakan yang penduduknya lebih ramai sehubungan kawasan ini telah berkembang menjadi kota pelabuhan. Bersamaan timbulnya pemberontakan orang-orang Cina terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda, terjadi kebakaran yang menimpa perumahan termasuk bangunan masjid. Atas pertimbangan lokasi masjid yang terlalu dekat dengan perkampungan Cina, maka oleh Bupati Semarang Suro Hadimenggolo II (1713 – 1751) pembangunannya kembali dipindahkan ke kawasan Kanjengan,. Pembangunan masjid selesai tahun 1760, di masa pemerintahan Bupati Suro Hadimenggolo III (1751-1773). Namun bangunan masjid baru ini pada tahun 1885 kembali mendapat musibah, terbakar karena disambar petir. Pembangunan kembali masjid di lokasi yang sama baru dimulai pada tahun 1889 atas bantuan Bupati Raden Tumenggung Tjokrodipuro, dan selesai pada tahun 1890.
Arsitektur Masjid Besar Kauman Semarang ini sering disebut dengan konsep tektonika. Sistem yang mirip dengan struktur tumpang pada bangunan tumpang berpenyangga berpilar lima pada bangunan bangunan pra Islam di tanah Jawa. Menurut Ir. Totok Roesmanto, diterapkannya sistem tektonik dalam pembangunan Masjid Besar Kauman Semarang ini bukan menggunakan soko guru layaknya Masjid Agung Demak, menunjukkan ketidakmampuan ahli bangunan Belanda pada masa itu mencerna aplikasi sistem konstruksi brunjung empyak pada bangunan tajuk tradisional.
Penggunaan sistem tektonik ini mengarah kepada struktur bangunan yang rigid. Empat sokoguru digantikan dengan pilar pilar bata penopang rangkaian pilar dan balok kayu di atasnya. Pada rangkaian bangunan ini juga dikenal sistem dhingklik yang menopang pilar pilar balok kayu yang lebih kecil di atasnya dan bntuk bangunan itu dan seterusnya.
Dari tahun pendirian Masjid Besar Kauman Semarang ini, menjadikan Masjid Kauman Semarang sebagai masjid pertama di Jawa yang bercitra tradisional, namun menggunakan konstruksi modern. Karya demikian dikenal dengan sebutan arsitektur masjid modern tradisionalistik.
Secara keseluruhan masjid kauman ini mencirikan bangunan tradisional Jawa. Dengan atap limas besusun tiga yang mempunyai arti filosofi Iman, Islam, dan Ikhsan. Bentuknya seperti bangunan Majapahit, disokong 36 pilar. Tajug paling bawah menaungi tempat ibadah, tajug kedua lebih kecil, dan tajug tertinggi berbentuk limas. Limas tersebut berhias mustika, sementara pintunya dari rangkaian daun waru. Semua tajug ini ditopang kayu jati. Ciri khas yang mengacu pada tradisi Arab atau Persia. Ornamen seperti ini hampir serupa pada Masjid Agung Demak.
Pada bagian utama masjid, yaitu ruang salat, hanya diperbolehkan bagi muslim laki-laki. Di sini berdiri seperti singgasana nan megah, kursi mimbar tempat khotbah. Ukiran kayu mimbar ini tampak rumit. Lengkungan-lengkungannya indah. Pahatan halus menunjukkan kelenturan tangan berseni pembuatnya. Di pojok terdapat pula jam bandul kuno yang masih digunakan. Untuk mencapai ruang salat utama, jamaah melewati beberapa pintu di sisi kanan dan kiri (bagi perempuan). Barisan pintu ini pun terbuat dari kayu jati bermotif pahatan kotak-kotak sederhana.
Sejak zaman keadipatian, Masjid Kauman Semarang tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat berjemaah dan penyelenggaraan ibadah keagamaan, tetapi juga berperan sebagai pusat pengembangan ajaran (syariat) Islam dan pembinaan umat, melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan dakwah, pendidikan, kegiatan sosial, dan budaya.
Sekarang Masjid Kauman disebut Masjid Besar Semarang, dan letaknyapun tidak lagi berada dalam wilayah Kampung (Kelurahan) Kauman, tetapi masuk dalam wilayah Kelurahan Bangunharjo. Masyarakat Kaumanpun sekarang sudah berbaur dengan penduduk dari luar Semarang yang berurbanisasi ke kota ini sejak ratusan tahun yang lalu. Tetapi bagi mereka yang kemudian ikut bermukim di Kampung Kauman ini umumnya mengikuti tradisi warga Kauman yang taat melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di masjid. Tradisi shalat berjemaah di masjid ini umumnya tumbuh pula bagi masyarakat yang tinggal di sekitar masjid, dan bahkan juga para pedagang di pasar Johar dan Pasar Yaik, termasuk sebagian para pengunjung . Karena itu setiap penyelenggaraan shalat lima waktu, terisi shap antara 3 sampai 5 shap, yang tiap shap berisi sekitar 100 orang jemaah.
Referensi : www.javanologi.info, www.id.wikipedia.org
Fotografi : Akhyar Fikri