Pendidikan Loyola mengakar sangat dalam di dalam sejarah kolese Yesuit. Dimulai dari zaman Ignatius Loyola, zaman penjajahan Belanda, awal kemerdekaan Indonesia, hingga sekarang.
Zaman Santo Ignatius
Beberapa lama setelah lahirnya Serikat Yesus, Ignatius dan kawan-kawannya menghadapi masalah besar dalam mencari tenaga baru dewasa yang cakap, terdidik, dan terpanggil seperti mereka. Serikat muda ini diminta mengemban tugas – tugas yang semakin lama semakin berat. Satu-satunya jalan adalah mendirikan beberapa pusat pendidikan untuk kaum muda yang terpanggil untuk mengabdi seperti mereka. Pusat – pusat pendidikan ini begitu berhasil dan terkenal sehingga banyak orang tua ingin menitipkan anak-anak mereka ke dalam pusat pendidikan Yesuit yang kemudian disebut collegium atau kolese. Arti harfiah kolese adalah tempat belajar bersama atau sekolah berasrama (dalam bahasa Latin kata cum berarti “bersama” sedangkan leggere berarti “membaca” atau “belajar”).
Kolese terkenal karena pendidikan humanisme dam alumni – alumninya. Pada masa itu sedang berkembang paham humanisme atau kemanusiaan. Humanisme memusatkan perhatian pada martabat manusia (dalam bahasa Latin kata “homo” berarti “manusia”). Satu gerakan cabang humanisme memandang manusia sama sekali otonom dan karenanya harus mengembangkan segala potensinya tanpa mengindahkan iman dan agama bahkan menolak Tuhan. Sumber pendidikan humanisme adalah karya sastra dan budaya Yunani-Romawi yang jauh lebih bermutu daripada karya sastra budaya kontemporer yang terlalu dipengaruhi agama dan kitab suci.
Kolese mengembangkan humanisme religius, yaitu suatu humanisme yang di satu sisi mengakui otonomi dan potensi manusia dan di sisi lain mengakui bahwa martabat, otonomi, dan potensinya itu berakar pada hakekat manusia sebagai anak-anak Allah yang dicintai-Nya. Dengan demikian untuk perkembangan intelektual, kolese mampu menggunakan sumber pendidikan karya sastra dan budaya Yunani-Romawi secara optimal. Untuk perkembangan pribadi, kolese mampu menghargai usaha pengembangan potensi siswa dalam kebebasan dan kemandirian. Sedangkan untuk perkembangan iman, kolese mampu merajut pendidikan modern tersebut dalam religiositas yang mendalam. Pendidikan kolese begitu berhasil sehingga alumni-alumni tidak hanya menghayati humanisme, melainkan juga menjadi tokoh – tokoh pembela humanisme religius.
Akhirnya sampai pada tahun 1556 saat meninggalnya, Santo Ignatius telah merestui pendirian 40 kolese dan menyetujui karya pendidikan di kolese sebagai salah satu karya Serikat Yesus. Semboyan kolese pada tahun itu adalah “Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia” (Educatio puerorum reformatio mundi). Sekolah mendidik humanis religius dan menumbuhkan mereka menjadi pendekar humanisme religius melawan humanisme atheis yang menyesatkan.
Zaman Penjajahan Belanda
Kolese pertama di Indonesia adalah Kolese Xaverius di Muntilan. Pendiri dan pencetus ide itu adalah Pater van Lith, SJ. Murid-muridnya mengatakan bahwa ia adalah seorang Belanda berhati Jawa (waktu itu negara Indonesia belum berdiri). Ia sangat prihatin melihat keadaan kemanusiaan waktu itu. Orang Jawa di tanahnya sendiri adalah budak, sedangkan orang Belanda adalah tuan. Ini adalah suatu kemanusiaan yang timpang. Ia ingin mengubah persepsi, sikap, dan penghayatan akan kemanusiaan yang salah itu. Untuk itu, ia mendirikan kolese bagi pemuda Jawa atau Indonesia. Di Kolese Xaverius, siswa meresapkan iman keyakinan bahwa setiap manusia diciptakan sama sebagai anak-anak Allah. Di samping itu, mereka belajar bahasa dan budaya Belanda. Di asrama, siswa belajar hidup dengan cara hidup orang Belanda. Dengan bekal yang diperoleh selama di kolese, siswa – siswa Jawa menghayati kemanusiaan yang benar, tidak menjadi inferior, mampu berbahasa dan bertatacara sebagai manusia berbudaya modern. Mereka dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan orang Belanda.
Cita-cita kolese Pater van Lith, SJ berhasil. Hal ini tampak dari penghayatan para siswanya sebagai orang Jawa otentik yang mampu hidup modern. Mereka menghayati kemanusiaan yang benar, memperjuangkan, dan menyebarkannya. Banyak dari mereka menjadi guru dan mengajarkan apa yang telah diperoleh dari Muntilan. Banyak juga yang berkecimpung dalam berbagai profesi dan di mana mereka berada, mereka memperjuangkan ideal Kolese Xaverius.
Awal Pendirian
Pendiri Kolese Loyola adalah Pater Jan van Waayenburg, SJ. Akhir tahun 1948, Belanda meninggalkan Indonesia. Pada saat yang kritis tersebut negara Indonesia ditinggalkan oleh para pemimpin birokrasi, bisnis, kemasyarakatan, dan pendidikan. Mereka kembali ke negeri Belanda. Melihat situasi tersebut, Pater Jan prihatin. Di samping itu, ia juga prihatin dan kagum terhadap anak-anak muda yang pulang dari gerilya karena ikut orang tuanya. Di satu sisi mereka tidak mempunyai sekolah, dan di sisi lain mereka adalah anak – anak muda pemberani, mengorbankan hidup nyaman di rumah untuk ikut berperang, dan berjuang guna kepentingan orang banyak membela tanah air.
Berawal dari keprihatinan di atas, Pater Jan mendirikan kolese untuk mendidik kaum muda. Ia mencita-citakan siswa kolese menjadi pemimpin masa depan yang berjuang untuk rakyat banyak, bersemangat tinggi, dan mampu berkorban seperti kaum muda bergerilya. Mereka diharapkan menjadi tokoh masyarakat yang tegar dalam moral dan yang berkepedulian kepada kepentingan rakyat banyak. Pemikiran Pater Jan van Waayenburg, SJ mengenai pendidikan sama dengan pemikiran para pater Yesuit pertama sekalipun konteksnya berbeda.
Pada Agustus 1949, Pater Jan van Waayenburg, SJ mendirikan suatu SMA yang bernama Canisius VHO (VHO adalah sekolah persiapan ke perguruan tinggi). Pada awalnya, sekolah ini bertempat di Bruderan Kalisari. Jumlah siswa-siswinya sedikit. Oleh karena itu, antara siswa dan siswi dicampur. Setelah jumlahnya memadai, para siswa dipisahkan dari para siswi dalam kelas-kelas yang tersendiri. Kelas para siswa diasuh oleh romo-romo Yesuit. Sedangkan para siswi diasuh oleh suster-suster Fransiskanes. Pada tahun 1950, kelas para siswa dipindah ke lokasi baru di jalan Karanganyar. Canisius VHO menjelma menjadi Kolese Loyola. Kelas para siswa ini disebut Loyola Putra. Sedangkan para siswi dipindah ke daerah Bangkong, pada jalan Mataram dan diasuh oleh suster Fransiskanes.
Sejak 1 Agustus 1968, kedua bagian secara resmi berdiri sendiri dengan nama Loyola I dan Loyola II. Sejak 1 Februari 1982, pemisahan Kolese Loyola dari Loyola II menjadi sempurna dengan berubahnya nama Loyola II menjadi Sedes Sapientie. Suster PI (Penyelenggara Ilahi) juga mendirikan sebuah sekolah yang terpisah dari Loyola II menjadi Loyola III di Kebon Dalem. Sekolah Suster PI ini telah berpisah secara resmi sejak 25 April 1973 dan menjadi SMA Kebon Dalem. Kolese Loyola sendiri menerima murid putri secara resmi dari kelas 1 pada tahun 1968. Untuk mewadahi kiprah alumni Kolese Loyola dibentuk suatu wadah KEKL (Keluarga Eks Kolese Loyola) pada tanggal 27 Desember 1962. Dalam KEKL, alumni tidak hanya bekerja sama untuk meraih cita-citanya, tetapi juga untuk menjadi pelopor dalam memperjuangkan kepentingan bangsa.
sumber : www.loyola-smg.sch.id